Beranda | Artikel
Fikih Hibah (Bag. 1): Perbedaan Antara Hibah, Hadiah, dan Sedekah
14 jam lalu

Pengertian hibah

Pengertian hibah menurut bahasa

Hibah secara bahasa artinya pemberian. Yaitu memberikan sesuatu tanpa imbalan.

Dalam kamus KBBI, hibah diartikan dengan: pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.

Hibah bisa berupa benda-benda material (A’yan) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ 

“Dia (Allah) menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 49)

Dan bisa juga berupa hal-hal maknawi (non-fisik) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنكَ رَحْمَةً

“Dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (QS. Ali Imran: 8)

Pengertian hibah menurut istilah fikih

Adapun dalam istilah atau terminologi fikih, hibah adalah pemindahan kepemilikan suatu benda, tanpa imbalan, saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan.

Hibah bertujuan untuk memindahkan kepemilikan benda, sehingga tidak termasuk di dalamnya pemindahan kepemilikan utang dan manfaat seperti: “ariyah” (pinjaman), “dhiyafah” (jamuan), dan “wakaf”. Hibah dilakukan tanpa imbalan, sehingga tidak termasuk di dalamnya akad jual beli. Hibah hanya terjadi selama pihak pemberi masih hidup, sehingga tidak termasuk di dalamnya wasiat yang pemindahannya terjadi karena sebab kematian. Hibah bersifat sukarela tanpa adanya unsur pemaksaan, sehingga tidak termasuk di dalamnya “zakat” dan “kafarat”, karena zakat dan kafarat hukumnya wajib.

Antara hibah, hadiah, dan sedekah: Apakah sama?

Hibah (pemberian), hadiah, dan sedekah memiliki makna yang berdekatan. Kesemuanya adalah tindakan pemindahan kepemilikan atau pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan.

Namun, ada perbedaan di antara ketiga hal tersebut. Hibah dan hadiah, bertujuan untuk menjalin kasih sayang dengan orang yang diberi, sedangkan sedekah semata-mata ditujukan untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, terlepas siapa orang yang diberi harta tersebut.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Sedekah adalah apa yang diberikan semata-mata karena Allah, sebagai ibadah murni tanpa adanya maksud lain terhadap orang tertentu, dan tanpa mengharapkan tujuan apa pun darinya; diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti orang-orang yang membutuhkan harta.

Adapun hadiah, tujuannya adalah memuliakan orang tertentu, baik karena cinta, karena persahabatan, atau karena mengharapkan sesuatu… Jika hal itu telah jelas, maka sedekah lebih utama, kecuali jika dalam hadiah terdapat makna yang menjadikannya lebih utama daripada sedekah. Contohnya adalah memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau karena kecintaan kepada beliau. Contoh lainnya adalah memberi hadiah kepada kerabat untuk menyambung silaturahmi, dan kepada saudaranya karena Allah. Ini mungkin lebih utama daripada sedekah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 31: 269)

Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga pernah menjelaskan perbedaan antara ketiganya,

“Ketahuilah bahwa pengeluaran harta secara sukarela (tanpa adanya unsur paksaan) dapat berupa hibah, hadiah, dan sedekah. Apabila tujuan utamanya adalah pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Apabila tujuannya adalah menjalin kasih sayang dan persahabatan, maka itu adalah hadiah. Apabila tujuannya adalah memberi manfaat kepada penerima, maka itu adalah hibah.

Inilah perbedaan di antara ketiganya. Menjalin kasih sayang dan persahabatan adalah hal yang dianjurkan dalam syariat dan bertujuan mencari pahala akhirat, namun pahala akhirat tidak menjadi tujuan utama di dalamnya. Oleh karena itu, hadiah diberikan kepada orang tertentu. Adapun sedekah, tidak dikhususkan kepada orang tertentu, melainkan diberikan kepada fakir miskin manapun yang dijumpai. Semuanya sepakat bahwa ketiganya adalah murni pemberian, pemberinya tidak menginginkan imbalan apa pun.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 11: 65)

Semua jenis ibadah tersebut sangatlah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan seorang muslim, karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya dan besarnya manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari perbuatan tersebut.

Terdapat perbedaan antara sedekah dan dua lainnya bagi pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya radhiyallahu ‘anhum. Hibah dan hadiah halal bagi mereka, namun sedekah haram bagi mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أُتِيَ بطَعَامٍ سَأَلَ عنْه: أهَدِيَّةٌ أمْ صَدَقَةٌ؟ فإنْ قيلَ: صَدَقَةٌ، قَالَ لأصْحَابِهِ: كُلُوا، ولَمْ يَأْكُلْ، وإنْ قيلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بيَدِهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأكَلَ معهُمْ

“Jika didatangkan makanan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau akan bertanya: ini hadiah ataukah sedekah? Jika dijawab sedekah, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya: makanlah makanan ini! Dan beliau sendiri tidak memakannya. Namun jika dijawab hadiah, maka beliau menepukkan tangannya pada makanan tersebut dan memakannya bersama dengan para sahabatnya.” (HR. Bukhari no. 2576 dan Muslim no. 1077)

Pensyariatan hibah

Pensyariatan hibah terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.

Dalil Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْ ءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)

Jika seorang istri menghibahkan sebagian maharnya kepada suaminya setelah diberikan kepadanya, maka suami boleh mengambilnya; dan itu adalah pemberian yang baik selama dilakukan dengan keridaan hati.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَبِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّينَ وَعَالَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّابِلِينَ

“Akan tetapi, kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 177)

Termasuk kebajikan adalah dengan memberikan harta dengan penuh rasa cinta dan keridaan, baik kepada kerabat, fakir miskin, ataupun orang-orang yang membutuhkan, dan itu semua mencakup hibah dan sedekah. Allah Ta’ala juga berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)

Maka hibah juga merupakan sebuah kebajikan yang seorang muslim dituntut untuk senantisa tolong-menolong dan bahu membahu di dalam melakukannya.

Dalil As-Sunnah

Banyak hadis yang menunjukkan pensyariatan hibah, sedekah, dan hadiah serta anjurannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تهادوا تحابوا

“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari no. 594)

Diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ

“Wahai kaum wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meskipun hanya kaki kambing.” (HR. Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 1030)

Di antara faidah yang bisa kita petik dari hadis ini adalah jangan sampai kita sungkan dan menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangga kita meskipun itu sedikit. Dan sebaliknya, sekecil apapun pemberian yang diberikan oleh orang lain, seorang muslim tidak sepatutnya meremehkannya dan menjadi kewajibannya untuk menghargai pemberian orang tersebut dan menerimanya dengan perasaan gembira. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

لو دعيت إلى ذراع أو كُراع لأجَبْتُ، ولو أهدي إليَّ ذِراعٌ أو كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ

“Seandainya aku diundang ke (hidangan) lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya. Dan seandainya kepadaku diberi hadiah lengan atau tulang kaki (hewan), pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari no. 5178)

Dalil ijma’

Semua kaum muslimin bersepakat bahwa hibah disyariatkan dalam agama Islam, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengingkarinya. Hal ini karena hibah akan mewujudkan kasih sayang dan keakraban antar sesama, serta menumbuhkan cinta dan rasa hormat di antara anggota masyarakat. Dengan terwujudnya akhlak saling memberi maka akan tercipta kepeduliaan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat, serta kedekatan dan keakraban diantara mereka. Wallahu a’lam bisshowab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/106964-fikih-hibah-bag-1-perbedaan-antara-hibah-hadiah-dan-sedekah.html